Contoh Peta Konsep Universitas Terbuka Pembelajaran Pkn Di Sd

Mencermati hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), seharusnya ia menjadi les terdahulu. Bukannya dipandang ain latihan sampingan. PKn tidak kalah berarti dibanding mata pelajaran lainnya.

Tapi cak kenapa selama ini PKn cenderung cacat diminati peserta? Mengapa PKn kurang mendapat perhatian seperti cak bimbingan matematika, IPA dan bahasa Indonesia? Apakah karena PKn tak di-UN-kan di tingkat sekolah radiks (SD)?

Pertanyaan itu muncul bila melihat kenyataan bahwa sebagian segara murid bahkan orangtua sepertinya menganggap remeh pelajaran ini. Sesuatu yang dianggap remeh akan berbuntut remeh pula pada hasilnya. Alhasil, pencapaian tujuan PKn pun minus maksimal.

Apakah kita lalu menyalahkan siswa? Karuan enggak. Sudah lalu saatnya kita misal pendidik melakukan introspeksi. Apakah sejauh ini kita mutakadim mengajar secara baik? Mengapa siswa sedikit tertarik belajar PKn? Kok berlatih PKn katanya membosankan? Dan masih banyak cak bertanya nan dapat menembakkan kita me-review cara mengajar.

Ki aib yang dialami setiap pembelajaran memang amat obsesi. Masalah itu datangnya bisa dari kurikulum, guru, petatar, alat angkut prasarana, sumber belajar, dan lainnya. Tapi sayangnya banyak pendidik cacat peka terhadap permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan camar duka di lapangan, di sini coba diidentifikasi persoalan yang pernah dihadapi, yang menyebabkan penerimaan PKn cenderung kurang menghirup, dianggap sepele, membosankan, dan kesan negatif lainnya. Penyakit itu antara enggak:

Pertama, kurikulum yang sesak rumpil. Menurut penulis, konten kurikulum PKn kerjakan tingkat SD terlalu tinggi dibandingkan kemampuan anak usia SD. Misalnya, buat materi kelas VI SD semester II. Ambil komplet Standar Kompetensi (SK) 2 Mengarifi sistem pemerintahan Republik Indonesia, Kompetensi Bawah (KD) 2.1 Menguraikan proses Pemilu dan Pilkada, 2.2 Mendeskripsikan lembaga-rajah negara sesuai UUD 1945 hasil amandemen, 2.3 Mendeskripsikan tugas dan fungsi tadbir muslihat dan daerah.

Materi-materi itu selain terlalu tinggi lakukan pesuluh, juga belum n kepunyaan urgensi dan kegunaan bagi spirit siswa. Jikapun materi itu dipelajari peserta, kesudahannya sasarannya tetapi pada aspek kognitif, tidak hingga ke roh faktual siswa.

Kedua, kurangnya kemampuan kerumahtanggaan menangkap perkenalan awal pokok dalam SK dan KD. Dalam mengerjakan penerimaan terhadap SK dan KD selama ini, guru masih banyak kekeliruan. Hasilnya, segala apa nan disampaikan menjadi salah sasaran.

Kesalahan itu misalnya terjadi pada SK kelas VI semester I. SK 1 Menghargai skor-angka juang kerumahtanggaan proses perumusan Pancasila perumpamaan dasar negara, KD 1.1 Mendeskripsikan biji-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai radiks negara, 1.2 Menceritakan secara singkat poin kebersamaan dalam proses perumusan Pancasila sebagai bawah negara, 1.3 Meneladani skor-biji juang para tokoh nan dolan dalam proses perumusan Pancasila bak pangkal negara intern kehidupan sehari-musim.

Karena kesalahan menganyam bibit SK dan KD, pembelajaran mengarah sahaja menentang pada pencapaian aspek kognitif. Sama dengan model SK dan KD di atas, sepanjang ini hawa cenderung namun mementingkan lega bagaimana proses perumusan Pancasilanya (serebral), sehingga momen evaluasi, pertanyaan yang muncul ya sekeliling proses formulasi Pancasila-nya. Misalnya, “siapa pengambil inisiatif yang merumuskan, tanggal berapa, bagaimana obstulen rumusannya”.

Kondisi itu menyebabkan kompetensi nan diharapkan dicapai siswa terlebih terabaikan. Misalnya bagaimana siswa mampu menghargai spirit para pejuang kerumahtanggaan merumuskan Pancasila, bagaimana menghargai perbedaan pendapat internal suatu musyawarah, dan bagaimana meneladani kredit juang para tokoh yang oleh murid dapat diaplikasikan kerumahtanggaan belajar. Dan ternyata ini juga terjadi pada tim penyusun soal ujian tingkat kabupaten. Padahal pengenalan kunci mulai sejak SK dan KD itu “menghargai dan biji-nilai juang”, sehingga semestinya pendedahan menekankan puas aspek afektif dan perilaku murid.

Ketiga, mengajar berdasarkan buku teks (textbook centre). Buku wacana selama ini menjadi pegangan wajib. Jika kita mengajar cuma mengandalkan buku teks (tanpa menunggangi RPP), sisi dan incaran pembelajaran menjadi enggak titik api.

Keempat, praktek mengajar PKn sejauh ini makin banyak berlanjut dengan pendekatan konvensional. Selama mengajar, hawa lebih banyak menunggangi metode ceramah dan soal jawab. Pelajar cuma menjadi pendengar di kerumahtanggaan kelas, kemudian menjawab tanya. Pembelajaran berlangsung monoton, dan guru menjadi suatu-satunya sumber informasi. Selain itu, mengajar PKn rumpil menunggangi media yang mengantuk. Penerimaan seperti ini jelas amat membosankan.

Kelima, penelaahan tidak kontekstual. Materi PKn sebetulnya banyak nan dapat diajarkan sesuai realita kehidupan murid. Tapi, n domestik prakteknya, karena telah teradat mengajar dengan orasi, risikonya semua materi disajikan privat rajah ceramah dan wawansabda. Risikonya, apa yang diperoleh pelajar sekadar apa yang disampaikan gurunya. Itupun jikalau bisa terserap semua.

Ambil paradigma materi papan bawah I semester II. SK 4 Menerapkan pikulan momongan di rumah dan di sekolah, KD 4.1 Mengikuti manajemen tertib di flat dan di sekolah, 4.2 Melaksanakan aturan yang berlaku di masyarakat. Materi ini sebetulnya amat erat dengan semangat siswa. Seandainya materi ini disajikan dengan pidato belaka, yang terjadi kemudian kompetensi yang terletak privat SK itu tidak akan terulur. Pamrih pembelajaran lagi-lagi cuma mengarah pada pencapaian kemampuan psikologis. Padahal, materi ini memaui adanya aplikasi, bukan sekadar teori atau hapalan.

Keenam, evaluasi cenderung mengarah pada aspek kognitif. Ibarat dampak bermula kesalahan menangkap sari SK dan KD serta pemanfaatan metode ceramah yang menjadi andalan, hasil belajar akhirnya hanya bermuara pada pengetahuan. Sementara itu, hasil membiasakan semestinya meliputi semua domain: kognitif, afektif dan psikomotor.

Menghadapi kelainan itu, terserah beberapa solusi berikut ini. Pertama, kurikulum disesuaikan dengan tingkat kemampuan murid SD. Jika berbicara kelainan kurikulum, karena ini mencantol kebijakan daya, di sini penulis cuma bisa menghimbau agar kurikulum PKn untuk tingkat SD disesuaikan dengan kemampuan anak usia SD. Materi nan disajikan setidaknya memiliki kesesuaian dengan tingkat usianya, punya urgensi dan manfaat kerjakan sukma pesuluh. Misalnya, materi mengenai Pemilu dan Pilkada, materi itu belum waktunya diberikan di tingkat SD, apalagi anak usia SD belum terlibat langsung intern kegiatan Pemilu dan Pilkada.

Kedua, menangkap esensi atau introduksi resep kerumahtanggaan SK dan KD secara benar. Kesalahan dalam menjalin esensi berpangkal SK dan KD akan amat mempengaruhi penyusunan intensi dan evaluasi. Kesalahan ini sekali lagi akan berbuah pada pencapaian kompetensi itu sendiri.

Dalam menelaah SK dan KD, kita harus congah mengintai dan membaca secara irit apa yang diinginkan dalam SK dan KD tersebut. Jikalau kita sudah mampu menangkap pembukaan kuncinya, maka akan kita rumuskan penunjuk apa yang menunjukkan pencapaian kompetensi itu. Seperti mana lengkap di depan, lakukan SK kelas VI semester I yaitu menghargai angka-ponten juang intern proses formulasi Pancasila sebagai sumber akar negara.

Takdirnya kita bisa menangkap kata sentral dalam SK ini, penekanannya bukan lega sejarah proses perumusan Pancasilanya, tapi lebih menegaskan bagaimana peserta mewah menghargai angka-nilai juang para tokoh tersebut dan meneladaninya. Apa indikator terbit “menghargai” dan “segala apa saja nilai-biji juang” yang dapat dicontoh siswa, misalnya tentang skor kebersamaannya, semangatnya, menghargai perbedaan pendapat.

Terkait dengan itu, gambar penilaiannya bukan harus pembenaran tertulis. Sehingga tidak akan terjadi pula momen evaluasi, pertanyaan yang muncul selingkung proses perumusan Pancasila, misalnya “kali pengambil inisiatif yang mengekspresikan, sungkap berapa, bagaimana obstulen rumusannya”, nan doang berperangai kognitif. Nilai-angka afeksilah yang sebetulnya menjadi sisi dalam SK ini.

Ketiga, mengajar harus punya persiapan RPP. RPP menjabat peranan penting cak bagi guru kerumahtanggaan mengajar. RPP bisa diibaratkan kompas bagi guru bikin menentukan ke mana penerimaan akan dibawa. Kalau seorang guru mengajar tanpa menggunakan RPP dan namun mengandalkan rahasia teks, yang akan terjadi adalah proses belajar yang tidak terarah, fokusnya tak jelas. Sebab, apa nan disampaikan guru sekadar apa yang cak semau dalam buku teks tersebut. Segalanya wajib dipersiapkan.

Keempat, mengajar dengan pendekatan konstruktivisme. Melaksanakan pendekatan konstruktivisme akan banyak memberikan kesempatan pada peserta lakukan mengeksplor potensi dirinya. Pendekatan ini juga akan memberikan ruang kerjakan siswa untuk mengkonstruk sendiri pengetahuannya, bukan diberi, sehingga belajar akan kian bermakna bagi dirinya. Siswa akan berpartisipasi aktif intern pembelajaran. Enggak cuma menjadi pendengar.

Dengan menggunakan multimetode, multimedia dan multisumber, pembelajaran akan makin menggandeng, menantang dan bermakna bagi siswa. Pemilihan metode, media dan sumber yang tepat juga akan amat mempengaruhi kebermaknaan dan keberhasilan pembelajaran. Misalnya untuk mengajarkan materi tentang menghargai nilai-angka juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Materi ini akan kian tepat diajarkan dengan Metode Bermain Peran atau menggunakan media film ketimban kuliah. Maupun lakukan melatih kemampuan berpikir kritis, kita bisa memperalat kar konsep, belajar bersendikan masalah, alias problem solving.

Kelima, sparing berdasarkan realita. Belajar akan bermakna lakukan siswa jika apa yang dipelajari itu bermanfaat bagi kehidupannya. Peristiwa alias fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar siswa dapat menjadi topik menarik untuk dipelajari. Dan ini akan bisa menumbuhkan kepedulian sosial petatar. Misalnya kasus “kenakalan cukup umur” nan sering terjadi, bisa diangkat menjadi topik urun pendapat yang tepat bakal mengajarkan KD 4.3.

Seperti KD menentukan sikap terhadap pengaruh kesejagatan nan terjadi di lingkungannya. Dengan memasalahkan kelainan ini siswa akan terpelajar nanang peka terhadap fenomena di lingkungannya. Dengan kemampuan berpikirnya itulah diharapkan siswa akan mampu menghadapi semua persoalan, baik kini alias buat kehidupannya di masa mendatang. Semua bermula dari realita.
Keenam, evaluasi bersifat total (kognitif, afektif, psikomotor). Hasil belajar tidak namun diukur dari kemampuan psikologis. Seperti dicontohkan di depan, bahwa untuk mengevalusi materi pada SK 4 Menerapkan kewajiban anak di flat dan di sekolah, tidak cukup dievaluasi dengan mewujudkan tanya “segala nan dimaksud kewajiban?” Lebih berbunga itu, peserta diharapkan punya sikap dan perilaku “berkewajiban” terhadap kewajibannya.

Dalam mata latihan PKn, pengembangan angka-angka afeksi dan karakter harus menjadi privilese. Apalah artinya pandai secara akademik tanpa diimbangi kepribadian dan akhlak mulia. Dalam rangka pengembangan nilai-nilai afeksi dan karakter ini, peran master amat terdepan. Sebab, guru yakni figur yang banyak dicontoh muridnya, terutama untuk tingkat SD. Guru tidak cukup memberi lengkap, namun harus bisa menjadi contoh.

Akhirnya, penulis menegaskan, pendidik perlu menerapkan metode dan lengkap pembelajaran nan berbagai serta media pembelajaran yang inovatif. Dengan semacam itu, peserta didik tidak akan merasa bosan dalam mengikuti proses penerimaan PKn.

Pencatat merupakan Dosen Prodi PGSD Sekolah tinggi Bung Hatta Padang dan mahasiswa S3/Doktor Ilmu pendidikan UNP.

Source: https://bunghatta.ac.id/artikel-325-pkn-sd-masalah-dan-solusinya.html

Posted by: skycrepers.com